Ilmuwan,
guru, dan siswa mengamati objek yang sama. Sebagai tanda bahwa telah memahami
objek tersebut dibuatlah suatu konsep (tanda verbal) dan lambangnya. Deskripsi
seseorang tentang konsep yang dibuat ilmuwan ini disebut konsepsi. Ada konsepsi
ilmuwan, ada konsepsi guru, dan ada konsepsi siswa. Pada umumnya, konsepsi
ilmuwan merupakan konsepsi yang paling lengkap, paling masuk akal, dan paling
banyak manfaatnya dibandingkan dengan dua kosepsi yang lainnya. Karena itu,
konsepsi ilmuwan itu dianggap yang benar (paling banyak diterima/diakui).
Konsepsi-konsepsi yang lain yang tidak sesuai dengan konsepsi ilmuwan secara
umum disebut miskonsepsi. Miskonsepsi ini di kelas sering berinteraksi dengan
konsepsi ilmuwan yang dibawa oleh para guru. Dalam bagian ini akan dibicarakan
tentang miskonsepsi dan bagaimana menggali miskonsepsi yang dimiliki siswa.
Novak & Gowin
(1984) menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan suatu interpretasi konsep-konsep
dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima. Sementara itu, Brown (dalam
Suparno, 2005:4) menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan penjelasan yang salah
dan suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang diterima para
ahli. Secara rinci miskonsepsi dapat merupakan pengertian yang tidak akurat
tentang konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang
salah tentang penerapan konsep, pemaknaan konsep yang berbeda, kekacauan
konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak benar.
Penyebab
miskonsepsi
Berbicara miskonsepsi,
tentu banyak faktor penyebabnya, mungkin diantaranya karena faktor perkembangan
intelektual individu dari tahap ke tahap. Perkembangan itu menurut teori Piaget
terjadi secara berurutan mulai dari sensorimotor, pre-operasional, operasional
konkrit, menuju ke operasional abstrak/ operasi formal. Seseorang, dalam
perkembangannya, hanya berada pada satu tahap tertentu atau dalam transisi
antara dua tahap yang berurutan. Oleh karena itu kelompok Piaget menyarankan agar
pembelajaran disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan intelektual siswa.
Namun demikian siswa tidak berarti tidak lagi menghadapi masalah bila
pembelajarannya telah sesuai dengan tahap perkembangan intelegensinya, karena
paling tidak ada empat faktor yang berpengaruh pada perkembangan itu, yatitu
proses menuju kedewasaan, interaksi social, pengalaman hidup dan
ke-tidakseimbang-an kognitif.
Proses menuju
kedewasaan merupakan fungsi dari waktu. Semakin tua umurnya ia semakin dewasa.
Interaksi social merujuk pada hubungan dan interaksi antara dirinya dengan
keluarga dan teman-temannya. Pengalaman hidup diperoleh dari hasil pemahamannya
tentang dunia sekitarnya. Pada umumnya dengan cara membandingkannya dengan yang
lain. Ke-tidakseimbangan kognitif merujuk pada situasi konflik antara
pengetahuan yang lama dan pengetahuan yang baru. Konflik semacam ini menuntun
siswa mengajukan berbagai pertanyaan.
Ke-tidakseimbang-an ini
akan diselesaikan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan
usaha untuk menempatkan pengetahuan yang baru di antara pengetahuan yang telah
ada. Dengan cara seperti itu, pengetahuan yang baru menjadi berarti baginya,
pengetahuan baru menjadi bermakna baginya. Namun, kenyataannya proses asimilasi
itu tidak selalu mulus berlangsung. Karena itu, proses akomodasi mengambil
alih.
Akomodasi merujuk suatu
proses menyusun cara berpikir baru untuk menghadapi sesuatu yang
sungguh-sungguh baru atau karena proses asimilasi tidak dapat berlangsung. Cara
berpikir berpikir menghadapi dunia ini, sering disebut struktur mental. Sesaat
setelah terbentuk, struktur mental ini akan dipakai berulang-ulang dari waktu
ke waktu dalam menghadapi pengetahuan yang baru. Kemungkinan juga akan
dihasilkan struktur mental yang baru, maka siswa akan membuat hubungan antara
masing-masing struktur mental itu satu dengan yang lain.
Miskonsepsi tidak hanya
terjadi pada siswa tetapi juga terjadi pada guru. Hal ini menyebabkan
miskonsepsi pada siswa semakin besar. Miskonsepsi juga dapat terjadi pada
buku-buku yang dijual di pasaran. Jika buku tersebut digunakan guru dan siswa
sebagai sumber belajar maka guru dan siswa tersebut akan mengalami miskonsepsi
dan bahkan makin memperkuat miskonsepsi yang sebelumnya sudah terjadi.
a. Siswa
Konsep awal yang dimiliki siswa menunjukkan
bahwa pikiran siswa sejak lahir tidak kosong atau diam. Selama melakukan
interaksi dengan lingkungannya siswa terus aktif mencari informasi untuk
memahami sesuatu. Menurut teori konstruktivistik, proses kontruksi pengetahuan
seseorang akan terbangun sejak lahir. Siswa yang baru belajar secara formal di
sekolah pada usia 6-7 tahun, sudah memiliki konsepsi awal sesuai dengan
pengalaman dan informasi yang diterimanya dari orang tua dan lingkungan
sekitarnya. Dalam hal ini, sangat besar kemungkinan konsepsi awal yang dimiliki
siswa tidak sesuai dengan konsep ilmiah yang dalam bidang IPA.
Banyak hal lain yang menyebabkan terjadinya
miskonsepsi yang ditimbulkan oleh siswa itu sendiri. Diantaranya tahap
perkembangan kognitif yang tidak sesuai dengan konsep yang dipelajari,
penalaran siswa yang terbatas dan salah, kemampuan siswa menangkap dan memahami
konsep yang dipelajari, dan minat siswa untuk mempelajari konsep yang diberikan
dan diajarkan.
b. Guru
Miskonsepsi pada siswa tidak hanya terjadi
pada lingkungan keluarga tetapi juga dapat terjadi karena miskonsepsi yang
terjadi pada guru. Guru yang tidak menguasai bahan ajar atau memiliki pemahaman
yang tidak benar tentang suatu konsep akan menyebabkan siswa mengalami
miskonsepsi. Banyak guru yang melaksanakan pembelajaran IPA hanya dengan
berbicara dan menulis di papan tulis. Guru jarang bahkan tidak pernah
melaksanakan kegiatan eksperimen atau demonstrasi. Guru jarang memberikan
contoh-contoh penerapan konsep yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan
siswa. Bahkan masih banyak guru yang melaksanakan pembelajaran atas dasar tugas
rutin yang harus selesai pada waktunya. Hal ini menyebabkan guru berlari
sendirian sementara siswa tetap diam di tempat atau terseok-seok mengikuti guru
dengan caranya sendiri.
Materi
IPA di sekolah bukanlah mata pelajaran yang berisi sejarah IPA tetapi merupakan
materi yang dikembangkan berdasarkan pengalaman dan kegiatan konkret. Oleh
karena itu, mata pelajaran IPA tidak dapat diberikan dengan berbicara dan
menulis saja tetapi harus didasarkan pada pengalaman siswa dalam kehidupan
sehari-hari dan diperoleh melalui kegiatan praktikum atau langsung berinteraksi
dengan benda yang dipelajari.
c. Metode
pembelajaran
Pemilihan guru terhadap metode pembelajaran
dan pelaksanaannya di kelas sangat berpengaruh terhadap terjadinya miskonsepsi
pada siswa. Oleh karena itu, guru perlu memahami dan memiliki keterampilan
dalam memilih metode pembelajaran yang akan dilaksanakannya. Berikut beberapa
contoh metode pembelajaran dalam IPA.
Metode ceramah merupakan metode yang paling banyak dipilih dan dilaksanakan oleh
guru di sekolah. Mengapa? Dengan berbagai argumentasi, tentunya semua guru
dapat memberikan alasan mengapa akhirnya mereka memilih metode ceramah. Metode
ceramah memang dapat digunakan dalam pembelajaran IPA. tetapi akan lebih baik
jika guru tidak membatasi diri dengan satu metode saja. Guru perlu kritis
dengan metode yang dipilih dan digunakannya. Metode ceramah yang tidak memberi
kesempatan pada siswa untuk bertanya dan mengungkapkan gagasannya seringkali
meneruskan dan memupuk miskonsepsi.
Metode demonstrasi merupakan salah satu metode yang dianjurkan dalam pembelajaran IPA.
Metode demonstrasi dilakukan untuk mengatasi kekurangan alat dan bahan
pembelajaran. Fungsi metode demonstrasi adalah memberikan pembuktian bagi suatu
konsep dengan cara melakukan, mengamati dan menguji. Metode demonstrasi juga
membuat pembelajaran lebih menarik, untuk memperkenalkan cara kerja alat atau
memperkenalkan penggunaan alat dan bahan untuk melakukan eksperimen. Metode
demonstrasi sebaiknya tidak hanya menampilkan peristiwa IPA yang benar saja.
Metode demonstrasi yang selalu menampilkan peristiwa yang benar saja dapat
membuat siswa bingung dan tidak punya keinginan untuk mencoba sendiri sehingga
siswa mengalami miskonsepsi. Oleh karena itu, metode demonstrasi hendaknya
menampilkan peristiwa yang benar dan yang salah serta menggunakan peristiwa
dalam kehidupan sehari-hari siswa.
Metode eksperimen merupakan metode
yang sangat dianjurkan dalam pembelajaran IPA karena melalui praktek sendiri
mempelajari peristiwa alam siswa diajak untuk mengenali dan menganalisis
penyebab dan dampak peristiwa alam dalam kehidupan sehari-hari. Namun
penggunaan metode eksperimen tidak selamanya menjadi yang terbaik. Penggunaan
metode eksperimen yang sifatnya membuktikan sesuatu dan sudah diketahui
jawabannya sebelum kegiatan eksperimen dilakukan akan menyebabkan kegiatan
eksperimen tersebut tidak bermakna bahkan menimbulkan miskonsepsi pada siswa.
Hal ini terjadi jika kegiatan eksperimen dilakukan dengan data-data yang sangat
terbatas sehingga konsep IPA yang dipelajari menjadi sulit dipahami siswa.
Metode diskusi merupakan metode
yang banyak digunakan guru dalam pembelajaran IPA terutama jika pembelajaran
tersebut dilaksanakan dengan kelompok belajar siswa. Metode diskusi pada
dasarnya merupakan kerja kelompok siswa yang berperan membantu siswa untuk
mengembangkan dan memeriksa kembali konsep dan pengetahuannya dengan
membandingkannya dengan konsep dan pengetahuan siswa-siswa lainnya. Namun,
metode diskusi juga dapat menyebabkan terjadinya miskonspsi pada siswa jika
dalam kelompok diskusi tersebut siswa mempunyai konsep yang salah maka
kesalahan tersebut akan semakin diperkuat oleh siswa lain. Jika hal ini
dibiarkan maka akan terjadi miskonsepsi pada siswa. Oleh karena itu, guru
hendaknya membantu siswa dalam menanggapi konsep yang dipelajari dan
memperbaikinya.
Ada banyak cara untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi. Secara
umum, kiat yang tepat untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi adalah mencari
bentuk kesalahan yang dimiliki siswa itu, mencari sebab-sebabnya, dan menemukan
cara yang sesuai untuk mengatasi miskonsepsi tersebut.
Hal pertama yang harus
dilakukan guru adalah memahami kerangka berpikir siswa. Dengan memahami apa
yang dipikirkan siswa dan apa gagasan siswa diharapkan guru dapat mengetahui
penyebab miskonsepsi dan menemukan cara mengatasi miskonsepsi tersebut.
Hal yang dapat
dilakukan guru adalah:
a) memberi kesempatan pada siswa untuk mengungkapkan
gagasan dan pemikirannya mengenai bahan yang sedang dibicarakan secara lisan
atau tertulis;
b) memberi pertanyaan kepada siswa tentang konsep
yang biasanya membuat siswa bingung dan siswa diminta menjawab secara jujur;
dan
c) mengajak siswa untuk berdiskusi tentang bahan
tertentu yang biasanya mengandung miskonsepsi, dan guru membiarkan siswa
berdiskusi dengan bebas. Selanjutnya guru menemukan cara mengatasi miskonsepsi
berdasarkan penyebabnya seperti yang diuraikan pada bagian sebelumnya.
Kapan
miskonsepsi terjadi?
Menurut teori
perkembangan intelektual Piaget, miskonsepsi akan terjadi jika struktur mental
yang ada tidak cukup akurat untuk mengakomodasi pengetahuan yang baru.
Miskonsepsi akan mudah diketahui melalui penalaran yang digunakan mungkin
kurang masuk akal, mungkin kurang lengkap, mungkin juga kurang jelas.
Sementara itu, kelompok
konstruktivisme, melihat bahwa porses konstruksi pengetahuan itu tidak melulu
hanya logika berpikir tetapi merupakan campuran antara pengalaman, hasil
pengamatan, kemampuan berpikir, dan kemampuan berbahasa. Karena itu,
pengetahuan yang dikonstruksi siswa tidak akan mungkin sama seratus persen
antara yang satu dengan yang lain. Apalagi, jika dibandingkan dengan pengetahuan
yang disusun para ilmuwan. Orang mengatakan konsepsi yang berbeda dari konsepsi
ilmuwan disebut miskonsepsi, karena konsepsi ilmuwan dianggap yang „benar‟.
Contoh miskonsepsi dalam IPA:
Miskonsepsi dalam Gerak, Gaya, dan Energi
Benda yang besar (atau berat) akan jatuh lebih dulu
Jawablah
pertanyaan berikut:
Apabila pertanyaan ini
ditanyakan ke siswa Anda, kebanyakan mereka akan memilih jawaban B. Siswa Anda
telah akrab dengan benda jatuh, dan berdasarkan pengalaman sehari-hari dan dari
intuisi mereka, benda yang berat akan jatuh lebih cepat dibandingkan dengan
benda yang ringan. Sebagai misal, sehelai bulu akan jatuh lebih lambat
dibandingkan dengan setumpuk buku. Hasil pengalaman dan intuisi ini oleh siswa
digeneralisasikan menjadi sebuah pemahaman bahwa benda yang berat jatuh lebih
cepat daripada benda yang ringan. Padahal, selain gaya gravitasi terdapat satu
gaya lagi yang berpengaruh terhadap benda jatuh, yakni gaya gesek benda dengan
udara. Sehelai bulu akan melayang-layang di udara, karena gaya geseknya dengan
udara cukup besar untuk mengimbangi gaya berat bulu. Apabila faktor gesekan
udara ini tidak terlalu berpengaruh, misalnya di tabung hampa udara atau untuk
benda pejal berbentuk bola, maka kedua benda akan sampai di tanah dalam waktu
yang bersamaan. Jadi, jawaban yang benar adalah C.
Matahari
bergerak mengelilingi bumi. Setiap hari, kita
melihat matahari di pagi hari terbit di ufuk timur. Tengah hari berada tepat di
atas kepala kita. Senja hari, tenggelam di ufuk barat. Kesimpulan apa yang
dibuat siswa-siswa Anda?. Ya, banyak anak usia SD yang berpendapat bahwa
matahari bergerak mengelilingi bumi dari timur ke barat siang malam. Pengalaman
dapat menimbulkan miskonsepsi.
Ayam berkokok mempengaruhi matahari
terbit. Setiap subuh, Anda mendengar suara ayam berkokok
demikian juga yang tinggal berdekatan dengan mesjid, atau surau mendengar suara
Azdan subuh. Tidak lama kemudian Anda melihat matahari terbit. Apa kesimpulan
Anda? Para murid Anda ada yang berpendapat ayam berkokok mempengaruhi matahari
terbit. Pengamatan yang kurang memadai dapat menghasilkan miskonsepsi.
Miskonsepsi tentang Fotosintesis dapat
dilakukan pada malam hari. Fotosintesis pada tumbuhan hanya
dapat terjadi dengan bantuan cahaya matahari, sehingga hanya bisa dilakukan
pada siang hari.
Miskonsepsi di tingkat SD
Marilah
kita lihat bagaimana perhatian dunia terhadap miskonsepsi ini. Sudah berulang
kali dilaksanakan seminar internasional tentang miskonsepsi. Diawali di
Universitas Cornell, AS pada bulan Juli 1983 (Helm and Novak, 1983). Ada 55
makalah dan diikuti oleh 118 orang. Makalah-makalah itu meliputi: perspektif
teoritis dan filosofis (8 makalah), isu-isu instruksional (9 makalah),
panelitian dan isu-isu metodologisnya (12 makalah), perspektif etimologis dan
histories (12 makalah), IPA SD (2 makalah), fisika (12), biologi (6), Kimia
(1), dan matematika (5). Belakangan banyak peneliti mengarahkan perhatiannya
pada IPA SD.
Khusus
tingkat SD, pada awalnya memang hanya sedikit peneliti yang sungguh memperhatikan
keberadaan miskonsepsi ini, karena saat itu ada anggapan bahwa siswa SD sungguh
belum memiliki pengethauan awal. Belakangan anggapan tersebut mulai
ditinggalkan. Sedikit demi sedikit penelitian miskonsepsi di tingkat SD semakin
berkembang.
Siswa
SD datang ke sekolah telah membawa pengetahuan tentang bagaimana sesuatu itu
terjadi. Mereka juga punya harapan-harapan yang memungkinkan mereka membuat
dugaan-dugaan. Sejak usia dini mereka telah memiliki gagasan-gagasan tentang
dunia di sekitar mereka.
Fisher
(1985) mengatakan bahwa miskonsepsi dapat memenuhi kebutuhan yang bersangkutan
yang disebabkan yang bersangkutan bingung, atau memang kekurangan pengetahuan.
Ada sejumlah karakteristik miskonsepsi di tingkat SD ini. Miskonsepsi merupakan
varian dari konsepsi ilmuwan, karena itu tidak konsisten dengan pemikiran para
ahli. Miskonsepsi tersebar ke seluruh tingkat kepandaian dan seluruh tingkat
kelas. Ada sejumlah mikonsepsi yang sungguh sulit diperbaiki. Miskonsepsi
sering diperkuat oleh kerangka berpikir siswa yang cukup kokoh sehingga sukar
diubah. Penelitian juga menunjukkan bahwa sejumlah guru juga memiliki
miskonsepsi.
Clough
dan Wood-Robinson (1985) menyarankan lebih detail lagi. Mereka minta agar
pembelajaran diawali dengan menggali gagasan siswa dan mempergunakan gagasan
tersebut sebagai batu pijakan selanjutnya. Mereka juga menyarankan agar
digunakan struktur pembelajaran yang memfasilitasi perubahan konseptual ini
(sudah diakomodasi dalam bahan ajar ini).
Sejumlah
penelitian juga menyarankan agar siswa diberi keleluasaan mengeksplorasi
gagasannya sendiri tanpa tekanan dari yang lain. Seperti yang dibicarakan pada
Unit 2 subunit 2, kelas dipandang sebagai masyarakat pencari pengetahuan.
Hopps
(1985) memberikan sejumlah gagasan segar tentang miskonsepsi ini. Pertama kita
tidak dapat mengharapkan siswa dapat mengidentifikasi stimuli kunci tanpa
bantuan para guru. Kedua, kita juga tidak dapat mengharap siswa memfokuskan
perhatiannya pada aktivitas kunci tanpa bantuan para guru. Dan ketiga, model
perubahan konseptual perlu diimplementasikan.